Whole Foods: Definisi, Contoh, Manfaat, dan Tips Pola Makan

Tubuh kita membutuhkan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan berbagai komponen zat gizi lainnya yang diperoleh dari beragam jenis makanan, termasuk whole foods yang diasosiasikan dengan pola makan sehat serta program diet yang baik bagi tubuh.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan whole foods?

Makanan seperti apa yang tergolong sebagai whole foods?

Adakah manfaat yang kita peroleh dari mengonsumsi whole foods?

Bagaimana menerapkan pola makan berbasis whole foods?

Semua pertanyaan tersebut akan kita kupas secara mendalam pada artikel ini, oleh karenanya yuk baca artikel ini sampai tuntas agar mengerti sepenuhnya!

{getToc} $title={Table of Contents}

Pengertian Whole Foods

Secara bahasa, whole foods dapat diartikan sebagai makanan utuh. Dalam pengertian yang lebih komprehensif, istilah whole foods merujuk kepada jenis bahan makanan yang tersedia secara alami serta mengandung semua bagian yang dapat dimakan tanpa ada yang dibuang atau dipisahkan.

Oleh karenanya, whole foods mengandung zat gizi yang kondisinya relatif sama seperti yang disediakan oleh alam.

Untuk dikatakan sebagai whole foods, makanan tidak mengalami proses refining, atau memurnikan pangan dari komponen tertentu yang sebenarnya dapat dimakan tetapi mengganggu proses pengolahan dan menurunkan rasa dan karakteristik produk. Padahal, komponen yang dibuang tersebut umumnya mengandung zat gizi dan senyawa bioaktif yang baik untuk tubuh.

Whole foods mengandung sangat sedikit, atau bahkan tidak sama sekali bahan baku termurnikan seperti gula pasir, pati dan tepung, flavor, minyak termurnikan, serta berbagai bahan baku industri lainnya.

Semua bahan tersebut memberikan rasa nikmat yang berlebihan sehingga membuat kita terus ketagihan, walaupun sebenarnya sudah kenyang. Kabar baiknya, whole foods tidak akan membuat kita ketagihan, sebab tidak mengandung bahan tersebut.

Dan yang terakhir, mayoritas whole foods umumnya tidak diproduksi secara massal di industri pangan. Whole foods diproses melalui tahapan pengolahan yang minim (minimally processed) sehingga tersaji dalam kondisi yang menyerupai alaminya

Rangkuman {alertSuccess}

Whole foods adalah makanan yang memenuhi semua kondisi berikut:

  • Mengandung semua bagian yang dapat dimakan,
  • Tidak mengalami proses pemurnian (refinery) seperti ekstraksi dan purifikasi,
  • Mengandung zat gizi dan senyawa bioaktif yang menyerupai kondisi alaminya,
  • Sedikit atau bahkan tidak mengandung bahan baku industri yang telah termurnikan seperti pati, gula, minyak, perisa, dan bahan tambahan pangan,
  • Dimakan langsung dalam kondisi segar ataupun diolah melalui proses yang minimal (minimally processed) seperti perebusan, pengukusan, pemanggangan, pengasapan, blansir, sterilisasi, pasteurisasi, fermentasi, penumisan, dan sebagainya,
  • Meskipun rasanya enak, tidak membuat ketagihan.

Seperti Apa Contoh Makanan yang Tergolong Whole Foods?

Biasanya whole foods sering dihubungkan dengan sayuran dan buah-buahan, tetapi sebenarnya tidak hanya itu saja lho!

Semua jenis makanan sebenarnya bisa disebut sebagai whole foods, termasuk juga untuk produk serealia, biji-bijian, kacang-kacangan, dan berbagai produk hewani seperti daging dan susu, asalkan memenuhi semua syarat sebagai whole foods.

Serealia Utuh

Serealia seperti beras, gandum, jagung, sorgum, barley, oat, dan rye merupakan makanan pokok manusia sebab mengandung karbohidrat yang tinggi. Selain karbohidrat, serealia utuh seperti beras coklat dan gandum utuh juga mengandung sejumlah protein, lemak, serat, vitamin, dan mineral yang baik bagi tubuh.

Biji serealia yang baru dipanen disebut gabah dan masih terbungkus oleh lapisan kulit sekam. Karena tidak dapat dimakan, sekam perlu dihilangkan melalui proses penggilingan. Setelah penggilingan, gabah berubah menjadi biji serealia utuh (whole grains) atau serealia pecah kulit yang berwarna coklat.

Serealia utuh yang berwarna coklat sebenarnya sudah dapat dikonsumsi, namun mayoritas konsumen tidak menyukai rasa dan penampilannya. Oleh karena itu, biasanya terdapat proses lanjutan berupa penyosohan untuk membuang kulit air (lapisan aleuron) sehingga warnanya berubah dari coklat menjadi putih, persis seperti beras putih yang umum kita konsumsi sehari-hari.

Ditinjau dari kandungan gizi dan manfaat kesehatan, serealia utuh seperti beras coklat sebenarnya lebih baik ketimbang yang sudah disosoh.

Menurut jurnal Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, beras coklat mengandung zat gizi yang lebih banyak ketimbang beras putih, seperti:

  • Protein dan asam amino esensial,
  • Asam lemak tidak jenuh,
  • Vitamin B kompleks (tiamin, riboflavin, niasin, asam nikotinat, asam pantotenat),
  • Vitamin E, serta
  • Mineral (Ca, Na, K, Fe, Mn, Zn, P),
  • Serat pangan (dietary fiber)

Perbandingan Kandungan Zat Gizi pada Beras Coklat (Whole Foods) dan Beras Putih (Processed Foods)
Perbandingan Kandungan Zat Gizi pada Beras Coklat (Whole Foods) dan Beras Putih (Processed Foods)

Protein merupakan zat gizi terbesar kedua pada beras coklat setelah karbohidrat. Beras coklat setidaknya mengandung 36% asam amino esensial yang tidak dapat dibuat oleh tubuh sehingga sangat penting untuk diperoleh melalu makanan. Profil asam amino pada beras coklat bahkan dapat disandingkan dengan sumber protein lainnya seperti kedelai dan protein whey.

Zat gizi selanjutnya adalah lemak yang menempati posisi terbesar ketiga setelah protein. Meskipun lemak kerap diasosiasikan dengan penyakit, namun jenis lemak pada beras coklat adalah asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat dan asam linoleat yang justru baik bagi tubuh.

Dan yang tidak kalah menarik, beras coklat memiliki kandungan serat pangan (dietary fiber) yang lebih tinggi. Semakin tinggi kandungan serat pangan, daya cerna karbohidrat dan indeks glikemiknya menjadi semakin rendah. Oleh karena itu, serealia utuh dapat menjadi opsi yang lebih sehat bagi penderita obesitas dan diabetes.

Selain berbagai kelebihan tersebut, serealia utuh juga memiliki kekurangan. Serealia utuh dijual dengan harga yang lebih mahal karena skala produksinya yang kecil. Biaya penanganannya pun lebih tinggi, seperti penggunaan kemasan vakum dan absorber oksigen untuk mencegah ketengikan akibat oksidasi asam lemak tidak jenuh.

Serealia utuh juga dapat mengandung senyawa fenolik seperti asam fitat, terutama pada lapisan kulit ari. Dalam jumlah yang tinggi, senyawa anti-nutrisi tersebut dapat menghambat penyerapan karbohidrat dan protein di dalam tubuh.

Dari segi pemasakan, beras coklat membutuhkan waktu masak yang lebih lama ketimbang beras putih. Teksturnya pun tidak selembut beras putih.

Ringkasan {alertSuccess}

Serealia dapat dikatakan sebagai whole food apabila tidak melalui penyosohan. Serealia utuh merupakan sumber protein, asam lemak tidak jenuh, vitamin B, vitamin E, mineral dan serat pangan yang lebih tinggi ketimbang serealia yang sudah disosoh.

Buah, Sayur, dan Umbi

Konsumsi buah, sayur, dan umbi terutama yang diproses secara minimal, memiliki manfaat bagi tubuh. Ketiganya merupakan sumber serat pangan (dietary fiber), vitamin, dan mineral yang baik untuk mempertahankan kesehatan. Beberapa di antaranya bahkan tergolong sebagai sumber kalsium yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh.

Semua jenis buah, sayur, umbi yang telah dipisahkan dari kulit dan biji yang tidak dapat dimakan termasuk sebagai whole foods. Namun apabila kulit dan bijinya aman dan dapat dikonsumsi, seperti kulit apel maupun biji buah naga, ada baiknya bagian tersebut juga ikut dimakan.

Selain dikonsumsi langsung dalam kondisi segar, buah dapat diproses minimal melalui penghancuran menjadi bubur, smoothie, maupun jus yang masih dapat dikatakan sebagai whole foods, dengan catatan tidak ditambahkan gula, pengental, maupun bahan artifisial lainnya dalam jumlah yang banyak.

Hal yang sama pun berlaku untuk sayuran dan umbi yang diproses minimal seperti blansir, pengukusan, perebusan, maupun penghancuran.

Yang perlu menjadi catatan, status whole foods menjadi hilang apabila buah, sayur, dan umbi telah diolah menjadi makanan kaleng, manisan, selai, keripik, bakwan, dan makanan olahan lainnya yang telah ditambahkan gula, garam, minyak, pati, perisa (flavor), dan berbagai bahan tambahan pangan lainnya dalam jumlah yang cukup banyak.

Adapun buah dan sayur kaleng sebenarnya masih dapat dikecualikan jika tidak ditambahkan larutan gula maupun garam dengan konsentrasi tinggi. Namun sepertinya tidak banyak produk yang seperti itu.

Ringkasan {alertSuccess}

Semua buah, sayur, dan umbi tergolong sebagai whole foods, asalkan mengandung semua bagian yang dapat dimakan dalam kondisi utuh, serta tidak diproses menjadi makanan olahan seperti makanan kaleng, manisan, selai, keripik, dan sebagainya.

Legum dan Kacang

Sekilas, legum dan kacang memiliki kemiripan, namun keduanya berbeda.

Legum merupakan biji atau buah yang berasal dari tumbuhan keluarga Fabaceae seperti kedelai, kacang tanah, kacang polong, kacang hijau, kacang merah, dan sebagainya.

Komponen zat gizi terbesar pada legum adalah proteinnya, kemudian disusul karbohidrat dan lemak. Karena sangat kaya akan protein, legum dianggap sebagai sumber protein nabati yang paling baik.

Pada dasarnya, semua legum adalah whole foods, termasuk jika difermentasi menjadi tempe. Produk seperti tahu, tauco, miso, dan kecap sebenarnya bukan tergolong whole foods karena tidak memanfaatkan seluruh bagian kedelai. Namun, masih bisa ditoleransi karena semuanya diproduksi melalui fermentasi dan tidak mengandung kalori dalam jumlah yang tinggi.

Jika legum seperti kedelai diproses menjadi minyak kedelai maupun protein isolat, barulah tidak dapat dikatakan sebagai whole foods. Hal tersebut karena pembuatannya melibatkan proses skala industri yang panjang dan penambahan berbagai bahan baku industri.

Sedangkan istilah kacang merujuk kepada biji yang dapat dimakan seperti kacang mete, kacang almond, kacang hazelnut, kacang pistachio, kacang walnut, dan sebagainya. Biji tersebut terlindungi oleh lapisan kulit atau cangkang yang keras dan tidak terbuka dengan sendirinya untuk melepaskan bijinya.

Jika legum adalah sumber protein nabati, kacang merupakan sumber lemak. Lemak merupakan zat gizi terbanyak pada kacang, lalu disusul karbohidrat dan protein.

Semua kacang-kacangan termasuk whole foods, selama dikonsumsi langsung maupun diolah secara minimal melalui proses pemanggangan, penyangraian, maupun blansir. Selain mempertahankan status whole foods, pemanggangan dan penyangraian dapat menciptakan aroma roasted dan smoky.

Namun, kacang-kacangan tidak dapat dikatakan sebagai whole foods jika digunakan sebagai pelengkap makanan olahan seperti coklat batangan, roti, maupun kue. Alasannya, semua makanan tersebut tinggi akan pati, gula, dan lemak yang telah dimurnikan.

Ringkasan {alertSuccess}

Semua legum dan kacang tergolong whole foods, asalkan diproses secara minimal seperti fermentasi, tidak ditambahkan gula, lemak, pati dan bahan baku industri lain dalam jumlah tinggi, tidak digoreng, dan tidak dibuat menjadi minyak maupun isolat protein.

Daging, Unggas, Ikan, Telur, dan Produk Susu

Produk hewani seperti daging, unggas, ikan, telur, dan susu merupakan sumber zat gizi berkualitas tinggi, khususnya protein. Secara umum, sumber protein hewani memiliki profil asam amino esensial yang relatif lengkap. Selain itu, produk pangan hewani juga menyediakan berbagai zat gizi mikro seperti asupan kalsium, fosfor, dan zat besi.

Secara umum, zat gizi yang disediakan oleh sumber pangan hewani cenderung lebih mudah diserap tubuh. Tidak seperti pangan nabati, pangan hewani hampir tidak mengandung komponen anti-nutrisi yang mampu menghambat penyerapan zat gizi. Namun sayangnya, produk pangan hewani memiliki harga yang relatif lebih tinggi.

Daging, unggas, ikan, telur, dan susu pada dasarnya tergolong sebagai whole foods. Statusnya baru berubah apabila bahan tersebut diolah bersama pati dan minyak termurnikan, seperti pada kasus berupa ayam goreng tepung, katsu, sosis, bakso, nugget ayam, kornet, dan sebagainya.

Adapun produk hewani yang melalui proses pengolahan minimal seperti penghalusan, pengukusan, pengasapan, fermentasi, pasteurisasi, dan sterilisasi masih dapat dianggap sebagai whole foods, asalkan tidak ditambahkan gula, pati, minyak, maupun bahan baku industri dalam jumlah banyak.

Contoh produk hewani yang diproses pengolahan minimal dan masih tergolong whole foods adalah daging cincang, ikan presto, ikan dan daging asap, susu pasteurisasi, suhu UHT, yoghurt, maupun kefir. Keju juga termasuk, asalkan tidak diproses menjadi keju olahan.

Ringkasan {alertSuccess}

Daging, unggas, ikan, telur, dan produk susu merupakan whole foods yang menyediakan protein, lemak, serta mineral, dan vitamin yang relatif mudah diserap tubuh. Adapun produk olahan seperti ayam goreng tepung, katsu, sosis, bakso, nugget, kornet, dan keju olahan tidak dapat disebut sebagai whole foods sebab telah ditambahkan pati, gula, minyak, dan bahan baku termurnikan lainnya dalam jumlah yang tinggi.

Kelebihan dan Kekurangan Whole Foods

Konsumsi whole foods dalam porsi yang cukup serta konsisten dapat memberikan beragam manfaat, ditinjau dari aspek gizi, kesehatan, dan lingkungan seperti:

  • Mengandung zat gizi yang relatif utuh sesuai kondisi alaminya, karena mempertahankan semua bagian yang dapat dimakan
  • Hanya mengalami sedikit perubahan dan penurunan zat gizi, sebab diproses secara minimal
  • Hanya sedikit, bahkan tidak mengandung komponen tambahan yang minim manfaat gizi
  • Memiliki kepadatan kalori yang relatif rendah
  • Mempertahankan cita rasa, tekstur, dan penampilannya sealami mungkin
  • Menurunkan risiko penyakit metabolik, degeneratif, dan tidak menular seperti obesitas, diabetes, serta penyakit kardiovaskular seperti jantung dan stroke
  • Menghemat penggunaan energi dan bahan bakar, sebab proses pengolahannya lebih singkat dan sederhana

Meskipun whole foods memiliki segudang manfaat, tetapi ada juga kekurangannya jika ditinjau dari aspek konsumen, seperti:

  • Memiliki harga yang relatif lebih mahal, khususnya pada produk pangan hewani
  • Preparasinya memakan waktu yang lama dan membutuhkan keterampilan memasak sehingga kurang praktis
  • Memiliki umur simpan dan keawetan yang relatif singkat

8 Tips Mudah dan Aplikatif untuk Menerapkan Pola Makan Whole Foods bagi Pemula

Sebagai konsumen yang masih sangat dipengaruhi oleh rasa dan harga, saya sepenuhnya menyadari bahwa tidaklah mudah untuk membiasakan pola makan berbasis whole foods.

Bagi mereka yang hidup di kota besar, tantangan tersebut semakin sulit ditaklukan karena situasi lingkungan yang tidak mendukung. Hampir setiap jengkal petak tanah di kota besar diisi oleh pedagang yang menjajakan makanan olahan yang kerap viral di media sosial.

Ironisnya, makanan tersebut sangat tinggi kandungan pati, gula, garam, minyak, perisa, namun miskin zat gizi mikro dan serat. Ditambah lagi, padat kalori!

Namun tenang saja, saya akan membagikan tips aplikatif yang bisa langsung dipraktekkan untuk membiasakan pola makan whole foods.

Ciptakan Alasan yang Kuat

Alasan yang kokoh adalah bahan bakar terbaik untuk melakukan sesuatu, termasuk untuk menerapkan pola makan whole foods.

Saya, kamu, dan setiap orang mungkin saja memiliki alasan yang berbeda-beda. Yang terpenting adalah alasan tersebut harus bisa beresonansi dengan tujuan dan nilai kehidupan yang kita pegang.

Alasan dapat berupa hal-hal yang sifatnya rasional maupun emosional. Namun, pada umumnya alasan emosional, apalagi jika dikombinasikan dengan yang rasional, dapat memberikan dorongan yang lebih kuat.

Misalnya seperti ini:

Saya berniat menerapkan pola makan whole foods agar bisa menjaga kesehatan dan menurunkan berat badan sebesar 10 kg (alasan rasional)

Coba bandingkan dengan ini:

Saya berniat menerapkan pola makan whole foods agar bisa menjaga kesehatan badan (alasan rasional), sehingga dengan badan yang sehat tersebut saya mampu mencari nafkah dengan maksimal untuk membahagiakan keluarga saya (alasan emosional)

Rasanya beda, kan? Saya kira kita semua sepakat bahwa alasan kedua jauh lebih powerful ketimbang alasan pertama.

Jadi, mulai sekarang cobalah temukan alasannya! Untuk membantu, kamu bisa ikuti template berikut:

Saya berniat menerapkan pola makan whole foods agar bisa... (isi alasan rasional), sehingga saya mampu... (isi alasan emosional) {alertSuccess}

Susun Rencana Menu Harian dan Jam Makan

Sadarkah kamu, terkadang pola konsumsi yang impulsif dapat berakar dari minimnya perencanaan akan menu harian dan jam makan?

Jika tidak memiliki rencana pola makan dan menu harian, kita akhirnya memilih makanan secara spontan dan impulsif berdasarkan penampilannya. Dari mata, turun ke hati.

Yang lebih parah, penampilan makanan yang sangat menggoda sangat mungkin membuat seseorang menjadi lapar mata, sehingga akhirnya membeli terlalu banyak makanan. Kalau dihabiskan jadi kekenyangan, kalau dibuang jadi mubadzir.

Dengan membuat daftar menu harian, kita akan memiliki kendali yang lebih kuat atas jenis makanan yang kita konsumsi. Sedangkan jam makan yang terjadwal dapat membantu mencegah munculnya rasa lapar yang tiba-tiba dan tidak menentu.

Kita bisa mengalokasikan waktu lapar yang strategis untuk mengonsumsi whole foods yang sudah direncanakan dalam daftar menu harian, dengan harapan bisa mengonsumsinya dalam porsi yang cukup sekaligus mengurangi hasrat akan makanan olahan.

Selain itu, jangan lupa lakukan evaluasi menu harian tersebut. Berikan apresiasi jika berhasil dan sanksi apabila belum berhasil. Dengan demikian, kita akan selalu termotivasi.

Selalu Konsumsi Whole Foods saat Kondisinya Memungkinkan

Ada kalanya sangat sulit bagi kita yang hidup di kota besar untuk menemukan penjual makanan yang menyajikan menu berbasis whole foods. Tentu, sudah menjadi tugas kita untuk berupaya semaksimal mungkin sehingga bisa mendapatkannya.

Namun, jika whole foods memang masih sulit didapatkan, jangan sia-siakan kesempatan untuk mengonsumsinya ketika memungkinkan. Jika pada hari ini kamu menemukan whole foods, makanlah hari ini dan jangan ditunda! Mungkin saja kesempatan tersebut sulit untuk datang kembali.

Intinya, selalu konsumsi whole foods setiap kali ada kesempatannya dan cobalah untuk memperbanyak kesempatan tersebut.

Kurangi Makanan Olahan (Processed Food) yang Mungkin Dikurangi

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini makanan olahan lebih mudah ditemukan ketimbang whole foods. Misalnya nasi putih. Selama di Indonesia, mau di kaki lima maupun bintang lima, nasi putih tetap menjadi makanan pokok nomor wahid. Bahkan ada idiom yang sangat terkenal, "belum makan kalau belum makan nasi".

Pola makan whole foods bukan berarti harus mengganti nasi putih menjadi nasi coklat maupun umbi-umbian. Juga tidak bisa diartikan untuk sama sekali tidak mengonsumsi makanan olahan. Sebenarnya tidak salah, tetapi pada akhirnya hanya menyusahkan diri sendiri.

Mengganti nasi putih menjadi nasi coklat memang bagus, tapi bukan opsi yang mungkin untuk semua orang. Kalau memang belum memungkinkan, daripada memaksakan hal tersebut lebih baik kita fokus mengurangi makanan olahan yang memang mungkin dikurangi, seperti cemilan berbasis tepung yang tinggi gula, garam, maupun lemak.

Perlu diingat: Bukan tidak boleh sama sekali, tetapi perlahan dikurangi.

Minum Air Mineral Secara Cukup

Sesudah mengonsumsi makanan utama yang didominasi oleh whole foods, terkadang kita sudah cukup kenyang tetapi masih ingin ngemil.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan makan cemilan. Namun, ingatlah bahwa cemilan (terutama yang gurih) dapat memberikan sensasi ketagihan sehingga dikhawatirkan dapat mengurangi porsi yang seharusnya dialokasikan untuk mengonsumsi whole foods.

Untuk menghindari hal tersebut, pastikan kita mengonsumsi air mineral dalam jumlah yang cukup setelah memakan whole foods agar rasa kenyangnya semakin kuat.

Selain itu, minumlah air mineral dalam jumlah yang cukup sebelum makan cemilan untuk menekan hasrat tersebut. Hasil penelitian yang dimuat pada jurnal Clinical Nutrition Research menunjukkan konsumsi air mineral sebelum makan dapat membantu mengurangi asupan makanan tersebut.

Kurangi Konsumsi Makanan yang Terlalu Gurih

Pernahkah kamu merasakan sensasi ketagihan dan "tidak mau berhenti" ketika mengonsumsi keripik, telur gulung, kentang goreng, maupun berbagai makanan gurih lainnya?

Itulah jahatnya makanan yang terlalu gurih!

Berbeda dengan makanan manis yang memberikan efek mengenyangkan, makanan gurih justru mampu membangkitkan selera makan. Itulah alasannya mengapa berbagai acara jamuan selalu menghidangkan makanan gurih sebagai makanan pembuka.

Yang jadi masalah, ketagihan dengan makanan gurih bisa mengacaukan pola makan. Apalagi makanan gurih mengandung lemak dan natrium dalam jumlah yang relatif tinggi yang buruk bagi kesehatan apabila dikonsumsi secara terus-menerus dalam jumlah yang banyak.

Dengan membatasi asupan makanan gurih, kita bisa mengalokasikan porsi yang cukup untuk mengonsumsi whole foods sebagai makanan utama! Makanan gurih yang tinggi kalori hanya digunakan sebagai penstimulasi nafsu makan dan penguat rasa lapar, bukan untuk mengenyangkan perut!

Alokasikan Waktu untuk Memasak

Kemudahan memesan makanan melalui aplikasi daring membuat aktivitas memasak perlahan ditinggalkan, apalagi bagi mereka yang sehari-harinya disibukkan dengan hiruk-pikuk kehidupan perkotaan.

Akibatnya, banyak di antara kita yang kurang bisa atau bahkan tidak bisa memasak. Ralat de h, mungkin sebenarnya bisa tetapi sebatas memasak air dan Indomie saja.

Padahal, memasak merupakan salah satu life skill paling fundamental. Kita bisa lebih menjamin keamanan dan higienitasnya, sekaligus lebih leluasa mengatur porsi dan komposisinya. Misalnya, kita bisa menambahkan porsi makanan whole foods, mengurangi garam dan gula, hingga membatasi penggunaan minyak dan lemak.

Selain itu, kita cenderung menghargai makanan yang kita buat sendiri. Walaupun (misalnya) tidak seenak dibandingkan makanan yang dibeli, kita tetap akan menghabiskannya sebagai bentuk apresiasi terhadap jerih payah dan effort yang telah kita lakukan. Tentu ada rasa kepuasan tersendiri.

Jaga Konsistensi

Tips terakhir ini merupakan pelumas bagi semua tips sebelumnya.

Untuk bisa menerapkan pola makan berbasis whole foods dan memetik beragam manfaatnya, yang kita butuhkan bukanlah intensitas. Kita membutuhkan konsistensi.

Ada sebuah perumpamaan menarik dari Simon Sinek terkait konsistensi.

Bukan olahraga selama 9 jam nonstop yang membentuk tubuh kita, tetapi olahraga 20 menit yang rutin dilakukan secara konsisten dalam periode tertentu.

Warren Buffett juga mengemukakan analogi yang tak kalah menarik:

Mengumpulkan sembilan ibu hamil dengan periode kehamilan masing-masing satu bulan tidak akan mampu melahirkan seorang bayi. Satu ibu hamil dengan periode sembilan bulan barulah berhasil.

It's not about intensity and one-night result. It's about consistency and cumulative result.

Penutup

Menerapkan pola makan yang beraneka ragam dan berbasis whole foods merupakan langkah pertama untuk menjaga kesehatan dan mencapai gizi seimbang.

Rutinitas mengonsumsi makanan berbasis whole foods juga perlu dibarengi dengan membudayakan pola hidup bersih, melakukan aktivitas fisik secara rutin, dan memantau serta mempertahankan berat badan normal.

Referensi {alertSuccess}

Saleh ASM et al, 2019, Brown Rice Versus White Rice: Nutritional Quality, Potential Health Benefits, Development of Food Products, and Preservation Technologies, Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 18(4):1070-1096.

Sugiyono, 2019, Legumes and Nuts, Materi Kuliah Karakteristik Bahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

Zakaria FR, Makanan Utuh (Whole Foods) untuk Konsumen Cerdas, BPKN

Gambar ilustrasi dari Pixabay lisensi gratis. 

Yusuf Noer Arifin

Sarjana teknologi pangan yang menulis tentang pangan, gizi, dan pola hidup sehat. Telah aktif menggeluti dunia blogging sejak tahun 2014.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak