Menguak 8 Rahasia Tersembunyi pada Label Produk Pangan

Menguak Rahasia Tersembunyi pada Label Produk Pangan

Keberadaan label pangan sangat membantu konsumen akhir dalam memutuskan pembelian produk pangan di warung, toko, supermarket, dan berbagai toko lainnya.

Label pangan memiliki peranan yang vital, yaitu menjembatani komunikasi konsumen dan produsen terkait produk yang diperjualbelikan.

Pernahkah terbayang jika produk pangan tidak mempunyai label? Untuk mengetahui informasi sederhana seperti netto saja, kita akan sangat kerepotan karena harus menimbangnya sendiri.

Well, kasus netto masih sederhana. Tentu ceritanya akan berbeda 180 derajat saat ingin mengetahui informasi yang hampir mustahil dicek sendiri, misalnya kandungan alergen. Pasti bingung kan?

{getToc} $title={Table of Contents}

Pentingnya Konsumen Cerdas Membaca Label Pangan

Banyaknya jenis produk pangan yang beredar di pasaran membuat pemerintah melalui Badan POM menerbitkan Peraturan BPOM no.31 tahun 2018 yang berisi aturan pembuatan label pangan yang wajib ditaati oleh para produsen pangan olahan.

Adapun salah satu tujuan dari aturan tersebut yaitu adalah melindungi konsumen dari informasi yang tidak benar dan menyesatkan.

Dalam menjamin perlindungan konsumen, pemerintah dan produsen memang berperan vital sebagai ujung tombaknya. Namun, bukan berarti kita selaku konsumen hanya "terima beres" saja.

Sebagai konsumen cerdas, tentunya kita harus mampu membaca label produk pangan agar dapat memastikan bahwa produk pangan tersebut dalam kondisi yang baik, serta sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita.

Pada postingan kali ini, saya telah merangkum sebuah panduan yang mudah dan lengkap untuk mendapatkan berbagai informasi penting dari sebuah label produk pangan.

Lantas bagaimana caranya? Yuk disimak!

Catatan: penyebutan merk pada tulisan ini hanya untuk keperluan informatif, bukan untuk sarana promosi. Mohon baca tulisan ini sampai akhir secara seksama agar tidak ada kesalahpahaman. {alertSuccess}

#1 Tanggal Kadaluarsa

Hal yang pertama kali perlu kita periksa sebelum membeli produk pangan adalah waktu kadaluarsanya.

Agar nantinya semakin mudah paham, sebelumnya mari kita bahas terlebih dahulu tentang tanggal kadaluarsa pada produk pangan.

Tanggal kadaluarsa sebenarnya memiliki banyak istilah, seperti expired date, sell by date, use-by-date, best before, maupun best if used by date.

Yang perlu dicatat, setiap negara memiliki regulasinya masing-masing, dan bisa saja tidak menggunakan semua istilah tersebut.

Istilah expired date, sell by date, maupun use-by-date sebenarnya sama-sama merujuk pada waktu kadaluarsa yang berkaitan langsung dengan faktor keamanan pangan (food safety).

Ringkasnya, tidak aman bagi tubuh apabila kita mengonsumsi produk pangan yang expired date, sell by date, ataupun use-by-date nya sudah terlewati.

Ketiganya biasa ditemukan oleh produk yang mudah rusak (perishable food), yaitu yang umur simpannya hanya maksimal 60 hari.

Sedangkan best before adalah waktu kadaluarsa yang berkaitan dengan faktor kualitas (food quality).

Apabila best before sudah terlewat, produk pangan tersebut relatif masih aman dikonsumsi, namun telah mengalami penurunan kualitas.

Best before umumnya lebih banyak ditemukan pada produk pangan yang tidak mudah rusak (semi perishable dan long shelf-life food), yaitu produk pangan yang memiliki umur simpan sama dengan atau lebih dari 6 bulan.

Di Indonesia sendiri, BPOM telah menyeragamkan istilah waktu kadaluarsa menjadi "baik digunakan sebelum".

Jadi, selama di Indonesia kita tidak akan pernah menemukan berbagai macam istilah yang membingungkan.

Oke, sekarang kita masuk ke cara mengetahui tanggal kadaluarsa produk pangan.

Menurut regulasi BPOM, tanggal kadaluarsa pada label produk pangan bisa ditulis dengan dua format.

Untuk produk pangan yang memiliki umur simpan sampai 3 bulan, umur simpannya akan ditulis secara lengkap dengan format tanggal, bulan, dan tahun (DD/MM/YY).

Namun untuk produk pangan yang memiliki umur simpan lebih dari 3 bulan, umur simpannya bisa ditemukan dalam format bulan dan tahun saja (MM/YY).

Untuk produk pangan dengan kemasan plastik, umumnya tanggal kadaluarsa ada pada bagian belakang kemasan. Sedangkan pada kemasan kardus atau kaleng, tanggal kadaluarsa bisa saja ditemukan pada bagian atas maupun bawah kemasan.

#2 Petunjuk Penyimpanan dan Penggunaan

Bagian ini sengaja ditempatkan di posisi ini sebab masih berkaitan dengan bagian sebelumnya.

Petunjuk penyimpanan biasanya memuat panduan detail untuk menyimpan suatu produk. Umumnya, petunjuk penyimpanan berguna untuk mempertahankan kualitas produk, namun pada beberapa jenis produk juga menjamin keamanannya.

Perlu dicatat bahwa masa kadaluarsa yang tercantum pada kemasan hanya berlaku jika produk disimpan sesuai dengan petunjuk penyimpanannya.

Hanya sebagai contoh, produk susu pasteurisasi bermerk X memiliki umur simpan selama 2 minggu. Pada petunjuk penyimpanan, tertulis produk harus disimpan pada suhu dingin (4 Celcius).

Jika penjualnya "bandel" dan menyimpannya di suhu ruang, tentu umur simpan 2 minggu tsb menjadi tidak berlaku. Produk bisa saja kadaluarsa sebelum tanggal yang tercantum pada kemasan.

So, sangat penting untuk memperhatikan petunjuk penyimpanannya, terutama terhadap produk yang rentan rusak.

Tidak jauh dari petunjuk penyimpanan, terkadang kita juga bisa menemukan petunjuk penggunaan.

Petunjuk penggunaan berisi panduan untuk menyajikan atau mengonsumsi suatu produk sesuai yang dianjurkan produsen.

Informasi tersebut sangat penting untuk memaksimalkan karakter produk sesuai yang diinginkan.

Petunjuk penggunaan sangat bermanfaat untuk produk yang memerlukan persiapan, penyeduhan, atau pemasakan sebelum dikonsumsi, seperti susu bubuk, mie instan, maupun sarden kalengan.

#3 Izin Edar dan Status Kehalalan

Izin edar merupakan indikator mudah yang dapat kita manfaatkan untuk menilai keamanan suatu produk pangan.

Adanya nomor izin edar, baik dari BPOM maupun Dinkes, setidaknya memastikan bahwa produk tersebut telah lolos uji keamanan pangan.

Sedangkan kehalalan dapat diamati dari ada tidaknya logo halal dari suatu lembaga penerbit sertifikat halal. Di Indonesia, lembaga tersebut adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Produk yang memiliki sertifikat halal artinya telah diproduksi dengan penerapan sistem jaminan halal, mulai dari bahan baku, fasilitas, proses produksi, hingga akhirnya sampai ke tangan konsumen.

Yang jadi pertanyaan, kalau suatu produk belum memiliki izin edar, apakah artinya produk tersebut berbahaya bila dikonsumsi? Kalau belum ada logo halal, apakah berarti produk tersebut langsung dapat dipastikan haram?

Bukan begitu yah!

Kalau belum ada izin edar maupun logo halal, artinya fifty-fifty. Bisa aman, namun bisa juga tidak aman. Bisa halal, tapi bisa juga tidak halal. Statusnya tidak jelas dan tidak ada pihak yang bertanggung jawab.

Tapi, kalau sudah ada izin edar dan halal, berarti lembaga yang berwenang sudah memastikan keamanan dan kehalalannya.

Oke, cukup intronya. Sekarang ke pertanyaan utama, bagaimana mengetahui izin edar dan kehalalan suatu produk?

Nomor izin edar dan logo halal biasanya terdapat di pojok bawah pada bagian depan kemasan, yaitu bagian yang memuat nama dan logo produk.

Nomor izin edar yang diterbitkan oleh BPOM ditulis dengan format "BPOM RI MD" atau "BPOM RI ML", lalu diikuti dengan 12 digit angka. Contohnya seperti:

BPOM RI MD 736289470917 (angka hanya fiktif)

Sedangkan izin edar oleh Dinkes biasannya berformat "Dinkes P-IRT" lalu diikuti 15 digit nomor. Contohnya seperti:

Dinkes P-IRT 6372819047185-35 (angka hanya fiktif)

Kemudian, untuk logo halal biasanya terletak berdekatan dengan nomor izin edar. Secara visual, logo halal berbentuk bulat dengan huruf Arab dan latin bertuliskan "halal" di bagian tengahnya, serta tulisan "Majelis Ulama Indonesia" yang mengitari logo. Di bawah logo, terdapat 14 digit nomor yang bisa dicek pada situs BPJPH.

Hal yang perlu menjadi perhatian, ada kemungkinan produsen memalsukan nomor izin edar maupun logo halal. Atau bisa jadi, izin edar dan sertifikat halalnya sudah kadaluarsa. Toh, kalau dilihat sepintas, siapa juga yang sadar?

Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, kita bisa mengecek keaslian dan masa berlaku dengan memasukkan kode digit di situs resmi BPOM (untuk izin edar) dan BPJPH (untuk halal).

Selain kode digit, ternyata logo halal pun bisa dipalsukan. Terkadang kita jumpai label produk pangan yang mengandung logo halal self-claim yang dicaplok dari Mbah Google.

Logo Halal Asli MUI Vs. Logo Halal "Abal-Abal"

Ini jelas-jelas praktik yang salah, karena status dan logo kehalalan tidak bisa diklaim secara sepihak, melainkan perlu ada pengakuan eksternal berupa sertifikat dari BPJPH, serta izin pencantuman logo halal pada label yang diberikan oleh BPOM atau Dinkes.

Lantas, bagaimana membedakan logo halal yang asli dengan logo halal yang "abal-abal"?

Sebenarnya mudah saja. Logo halal yang asli dari BPJPH dan MUI memiliki ornamen yang lebih rumit. Dan yang terpenting, kita bisa menemukan 14 digit angka yang dapat diverifikasi pada situs BPJPH.

Sebaliknya, logo halal "abal-abal" terlihat sangat sederhana dan polos, hanya berbentuk lingkaran dan tulisan halal saja. Tidak ada ornamen rumit, apalagi 14 digit angka.

#4 Komposisi dan Jumlah Relatif Setiap Bahan

Komposisi atau daftar bahan merupakan kumpulan bahan yang digunakan untuk membuat suatu produk pangan.

Komposisi produk pangan dibutuhkan ketika kita ingin menghindari jenis bahan tertentu, seperti komponen alergen.

Daftar bahan atau komposisi umumnya dapat kita jumpai pada bagian belakang kemasan.

Sebagai informasi tambahan, urutan penulisan komposisi pada suatu produk pangan tidak dibuat secara sembarangan lho!

Urutan penulisan pada komposisi produk pangan sebenarnya menggambarkan jumlah relatif dari bahan tersebut.

Semakin awal suatu bahan diletakkan dalam urutan komposisi, maka jumlahnya akan semakin besar.

Artinya, bahan yang ditulis pada urutan paling depan merupakan bahan yang paling banyak digunakan pada produk pangan tersebut.

Sebaliknya, bahan yang ditulis terakhir mengindikasikan jumlah penggunaannya paling sedikit.

Misalnya, pada label produk susu kental manis tercantum komposisi sebagai berikut:

Komposisi Susu Kental Manis

Dari label di atas, sukrosa atau gula menempati urutan pertama. Itu artinya, dalam susu kental manis tersebut, gula merupakan bahan terbanyak di antara semua bahan lainnya.

Setelah gula, bahan yang ditulis adalah air, lalu disusul minyak nabati. Artinya, jumlah air lebih banyak dari pada minyak nabati, namun lebih sedikit dari gula.

Dari label tersebut, kita juga bisa mengamati kandungan susu skim bubuk pada urutan ke-6, dan susu bubuk full cream di urutan ke-12.

So, informasi bahwa susu kental manis tidak mengandung susu adalah salah satu hoaks terviral tentang pangan.

#5 Kandungan Alergen

Masih terkait dengan komposisi atau daftar bahan, kita juga bisa mengetahui kandungan alergen pada suatu produk pangan hanya dengan membaca labelnya saja.

Sesuai regulasi BPOM, bahan yang mengandung alergen harus dicetak tebal, kemudian diberikan keterangan:

Mengandung alergen, lihat daftar bahan yang dicetak tebal.

Adapun list bahan yang mengandung alergen antara lain:

  • Serealia tertentu yang mengandung protein gluten, yaitu gandum, gandum hitam (rye), barli (barley), haver (oat), spelt atau strain hibrida.
  • Telur
  • Ikan, krustasea (udang, lobster, kepiting, tiram), serta moluska (kerang, bekicot, atau siput laut)
  • Legum tertentu, yaitu kacang tanah dan kedelai
  • Susu (termasuk gula berjenis laktosa)
  • Kacang pohon seperti kacang kenari, almond, hazelnut, walnut, kacang pecan, kacang Brazil, kacang pistachio, kacang macadamia atau kacang Queensland, dan kacang Mede
  • Sulfur dengan kandungan minimal 10 mg/kg (dihitung dalam bentuk SO2 seperti belerang dioksida, serta garam natrium dan kalium dari anion sulfit, bisulfit dan metabisulfit).

Selain mengetahui kandungan tujuh bahan alergen, kita juga bisa mengetahui apakah terdapat kemungkinan mengandung alergen.

Kata "kemungkinan" mengisyaratkan bahwa produk tersebut bisa saja tidak menggunakan ketujuh bahan alergen, namun mungkin mengandung alergen.

Lantas, dari mana sumber kemungkinan alergen jika memang produknya tidak menggunakan salah satu dari ketujuh bahan alergen?

Jawabannya... bisa saja dari peralatan produksinya.

Jika produk tanpa alergen diproduksi menggunakan peralatan produksi yang sama ketika memproduksi produk mengandung alergen, ada kemungkinan alergen tersebut berpindah dan "mencemari" produk tanpa alergen.

Lantas, bagaimana kita mengetahui adanya kemungkinan alergen, jika pada komposisinya tidak ada bahan yang dicetak tebal?

Jika ada kemungkinan mengandung alergen, kita bisa menemukan keterangan berikut di bawah list komposisi:

Diproduksi menggunakan peralatan yang juga memproduksi / Mungkin mengandung / Dapat mengandung... (nama bahan alergen)

So, jika kamu memiliki alergi tertentu, pastikan untuk selalu membaca komposisi produk pangan dengan teliti yah!

#6 Klaim Pangan

"Sumber protein..."

"Tinggi kalsium..."

"Rendah lemak..."

"Bebas gluten..."

Kata-kata tersebut terdengar familiar bukan?

Terkadang kita menemukan "jargon" serupa yang menggambarkan keunggulan dan karakteristik suatu produk pangan, baik pada label maupun iklan.

Itulah yang disebut klaim pangan.

Klaim pangan merupakan pernyataan eksplisit terkait kandungan gizi, manfaat kesehatan, maupun karakteristik lain pada suatu produk pangan, dan biasanya diletakkan pada bagian depan kemasan maupun kampanya iklan agar menarik konsumen.

Contoh Klaim Produk Pangan

Namun jangan salah, klaim pangan tidak bisa seenaknya dibuat secara sepihak. Tentu saja, klaim tersebut harus disokong bukti ilmiah yang kuat, serta sesuai dengan regulasi BPOM.

Terdapat tiga klaim yang bisa kita temukan pada label produk pangan:

  • Klaim gizi, yaitu terkait dengan kandungan dan karakteristik gizi seperti energi, lemak, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral.
  • Klaim kesehatan, yaitu terkait dengan fungsi dan manfaat kesehatan tertentu.
  • Klaim lainnya, yaitu terkait keberadaan suatu komponen tertentu seperti isotonik, tanpa penambahan gula, tanpa laktosa, maupun tanpa gluten.

Yang menjadi pertanyaan, sejauh mana kita bisa mempercayai klaim pangan? Bagaimana caranya membedakan klaim pangan yang benar dengan yang abal-abal?

Caranya tentu saja dengan mengamati ada/tidaknya nomor izin edar dari BPOM.

Jika terdapat izin edar BPOM, artinya segala sesuatunya (termasuk klaim pangan) sudah diuji dan diizinkan oleh BPOM. So, tidak perlu khawatir lagi.

#7 Kealamian Bahan

Kita sudah sangat familiar terhadap produk pangan dengan banyak citarasa, misalnya buah-buahan, cokelat, dan sebagainya.

Citarasa tersebut bisa diperoleh dari bahan alami (buah asli, cokelat asli, dsb), maupun perisa (flavor).

Tahukah kamu, bahwa kita bisa mengetahui kealamian suatu bahan dalam produk, hanya dengan melihat labelnya saja?

Menurut regulasi BPOM, produsen hanya boleh mencantumkan gambar suatu bahan pangan alami (buah, sayur, dsb) hanya jika produk tersebut memang mengandung bahan tersebut. Jika hanya menggunakan flavor saja (tanpa bahan alami), tidak boleh ada gambar bahan alami.

Misalnya, jus jambu yang memang terbuat dari jambu asli boleh mencantumkan gambar jambu pada kemasan. Gambar buah jambu tidak boleh dicantumkan pada kemasan minuman berperisa jambu yang tidak mengandung buah jambu asli.

Jus Mengandung Buah Asli
Karena ada gambar jambu pada kemasan, artinya produk tsb memang mengandung jambu.

Kita bisa mengonfirmasikannya dengan melihat daftar komposisi. Jika produk terbuat dari bahan alami, seharusnya kita bisa menjumpai bahan alami tersebut pada komposisi. Pun kalau ternyata dalam bentuk perisa (flavor), seharusnya juga tertulis di sana.

#8 Informasi Nilai Gizi

Informasi terakhir yang tak kalah penting dalam suatu label adalah informasi nilai gizi (nutrition facts).

Umumnya informasi nilai gizi dibuat dalam bentuk tabel berformat vertikal, meskipun ada juga produsen yang menggunakan format linier dan tabular (horizontal). Informasi nilai gizi dapat dijumpai di bagian belakang atau samping kemasan.

Informasi nilai gizi memuat kandungan zat gizi tertentu per sajian (serving) sehingga mempermudah konsumen untuk mengatur pola makannya dan mencapai gizi seimbang.

Pada label informasi nilai gizi, setidaknya kita dapat selalu menemukan informasi berikut:

  • Jumlah sajian
  • Takaran saji
  • Energi total
  • Lemak total
  • Lemak jenuh
  • Protein
  • Karbohidrat total
  • Gula
  • Garam (dalam bentuk sodium)
  • Persentase dari Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Catatan: tidak seperti komponen di atas yang selalu ada pada label, zat gizi mikro seperti vitamin, mineral, maupun komponen gizi lainnya bisa saja tidak tercantum.

Ketika membaca informasi nilai gizi, hal yang pertama kali harus dibaca adalah sajian dan takaran saji. Keduanya terletak di bagian paling atas pada tabel informasi nilai gizi.

Sajian adalah jumlah porsi yang terdapat dalam kemasan yang nilainya sudah ditentukan oleh produsen.

Kemasan yang mengandung satu sajian artinya memang dibuat dalam porsi yang dapat dihabiskan oleh satu orang dalam sekali makan saja, misalnya pada produk snack eceran yang harganya berkisar Rp1.000-2.000.

Sedangkan, kemasan yang memiliki beberapa sajian artinya bisa dikonsumsi oleh beberapa orang sekaligus atau bisa dimakan beberapa kali.

Misalnya, sekotak susu bubuk dengan netto 400 gram dan takaran saji 40 gram akan memiliki 10 sajian (porsi) per kotaknya.

Mengapa penting untuk mengetahui jumlah sajian? Well, semua data yang ada pada informasi nilai gizi sebenarnya mewakili per sajian, bukan per kemasan.

Ini artinya, untuk mengetahui kandungan zat gizi per kemasan, kita perlu mengalikan kandungan zat gizi pada label dengan jumlah sajian per kemasannya.

Tentu hasilnya akan sama saja jika jumlah sajiannya hanya satu.

Selanjutnya, kita bisa mengecek informasi terkait jumlah kandungan (dalam bentuk gram atau miligram) serta persentasenya terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG).

AKG sendiri merupakan rata-rata jumlah zat gizi yang disarankan agar mencapai kesehatan yang optimal. AKG dibuat berdasarkan golongan, umur, jenis kelamin, ukuran, dan aktivitas tubuh.

Untuk memperjelas semuanya, mari kita lihat contoh berikut.

Panduan Lengkap dan Mudah Membaca Informasi Nilai Gizi

Pada informasi nilai gizi tersebut, kita mengetahui bahwa terdapat 2 sajian per kemasannya, dengan takaran saji per sajiannya sebesar 39 gram.

Artinya, kemasan tersebut sebenarnya memiliki berat bersih (netto) sebesar 78 gram.

Di sana tertulis lemak total sebanyak 6 gram, dan pada bagian kanannya terdapat keterangan 8% AKG. Ingat, informasi nilai gizi dibuat per sajian, bukan per kemasan.

Jika hanya memakan 1 sajian, artinya kita telah mengonsumsi 6 gram lemak. Angka tersebut telah memenuhi kebutuhan lemak harian kita sebesar 8%.

Nah, kalau kita ingin menghitung jumlah lemak per satu kemasan, maka tinggal kalikan dengan jumlah sajiannya.

Pada kasus kita, jumlah sajiannya adalah 2. Artinya, per kemasan terdapat 12 gram lemak yang akan memenuhi kebutuhan lemak harian sebesar 16%.

Perlu diperhatikan bahwa jumlah kandungan hanya tersedia untuk zat gizi makro dan beberapa komponen minor saja (kolesterol dan garam/sodium).

Komponen lain seperti vitamin dan mineral hanya tertulis dalam persentase AKG nya saja. Kalau ingin mengetahui jumlah pastinya, kita bisa memperkirakannya dengan melihat tabel Acuan Label Gizi pada Peraturan BPOM No.9 Tahun 2016.

Tinggal kalikan persentase AKG pada label dengan nilai ALG pada peraturan BPOM, dan... voila! Sekarang kita sudah mendapatkan estimasi jumlah vitamin dan mineral per sajian.

Pro-tip: informasi nilai gizi dapat membantu kita untuk mencapai gizi seimbang dengan cara memenuhi zat gizi yang diperlukan tubuh dan membatasi asupan yang perlu dibatasi. {alertSuccess}

Akhir Kalam

Begitulah sekiranya panduan lengkap untuk membaca label produk pangan dan cara membaca informasi nilai gizi. Setelah membaca postingan ini, ternyata ada banyak "rahasia" yang bisa kita ungkap dari sebuah label pangan kan?

Dengan memahami cara membaca label pangan dan informasi nilai gizi, termasuk menguak berbagai informasi tersembunyi di dalamnya, semoga kita dapat naik level dari konsumen cerdas menjadi konsumen yang lebih cerdas lagi.

Semoga bermanfaat!

Referensi

{alertSuccess}

Peraturan BPOM No.22 Tahun 2019 Tentang Informasi Nilai Gizi

Peraturan BPOM No.31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan

Peraturan BPOM No.13 Tahun 2016 Tentang Pengawasan Klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan

Peraturan BPOM No.9 Tahun 2016 Tentang Acuan Label Gizi

Yusuf Noer Arifin

Sarjana teknologi pangan yang menulis tentang pangan, gizi, dan pola hidup sehat. Telah aktif menggeluti dunia blogging sejak tahun 2014.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak