Mengonsumsi makanan yang mengandung kalsium terbilang sangat penting, sebab kalsium tergolong mineral makro yang menyusun tubuh dalam jumlah yang besar yaitu melebihi 5 gram.
Sebanyak 99% kalsium yang berada di tubuh tersimpan sebagai tulang dan gigi dalam bentuk mineral kalsium hidroksiapatit atau Ca10(PO4)6(OH)2.
Karena kalsium merupakan komponen utama penyusun tulang dan gigi, wajar saja kalsium dapat dinobatkan sebagai mineral yang jumlahnya paling berlimpah di tubuh kita.
{getToc} $title={Table of Contents}
Manfaat Makanan yang Mengandung Kalsium
Kita sudah sangat akrab dengan berbagai iklan di TV tentang manfaat makanan tinggi kalsium, khususnya pada produk susu.
Manfaat kalsium yang sering digembar-gemborkan tidak jauh dari menambah tinggi badan atau memperkuat tulang dan gigi.
Well, keduanya memang benar, namun sayangnya belum menggambarkan seluruh fungsi kalsium bagi tubuh.
Konsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup juga ternyata mampu memberikan berbagai manfaat kesehatan, seperti
- Menurunkan risiko kanker kolon,
- Mencegah obesitas,
- Mereduksi risiko tekanan darah tinggi (hipertensi) serta penyakit kardiovaskular,
- Menjaga fungsi sel saraf.
Tinggi Kalsium Saja Tidaklah Cukup!
Lho, bukankah mengonsumsi makanan tinggi kalsium itu baik?
Tentu saja, tubuh kita memang butuh asupan kalsium dalam jumlah tertentu yang jumlahnya bervariasi, tergantung umur, jenis kelamin, ukuran dan aktivitas tubuh.
Mengacu pada kebutuhan zat gizi orang Indonesia (Perka BPOM No.9 Tahun 2016), secara umum kita membutuhkan 1,1 gram kalsium per harinya.
Untuk bayi berusia 0-6 bulan dan 7-11 bulan, kebutuhan kalsium hariannya berturut-turut hanya 0,2 gram dan 0,25 gram saja.
Sedangkan bagi batita berusia 1-3 tahun, kebutuhan kalsiumnya sudah meningkat di angka 0,65 gram per hari.
Dan ternyata, ibu hamil dan menyusui perlu asupan kalsium yang paling tinggi, mencapai 1,3 gram per harinya.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kuantitas sangat penting dalam mewujudkan gizi seimbang.
Tetapi, ada satu lagi yang tidak kalah penting...
... Kualitas! Atau dalam istilah yang lebih ilmiah disebut sebagai bioavailabilitas.
Bioavailabilitas merupakan fraksi atau persentase dari zat gizi atau komponen bioaktif yang masuk ke dalam tubuh, mengalir pada aliran darah, serta mencapai organ tubuh sehingga mampu memberikan dampak atau khasiat tertentu.
Konsep bioavailabilitas lahir berdasarkan fakta bahwa tidak seluruh zat gizi yang kita konsumsi dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh.
So, makanan bisa dikatakan bergizi jika mengandung zat gizi dalam jumlah yang tinggi, sekaligus memiliki bioavailabilitas yang baik.
8 Makanan Sumber Kalsium yang Mudah Diserap Tubuh
Secara in vitro, nilai bioavailabilitas dapat ditentukan berdasarkan nilai dialisabilitasnya.
Pada artikel ini, kita akan menggunakan istilah bioavailabilitas saja karena lebih populer, sehingga harapannya mudah dimengerti.
Makanan tergolong sumber kalsium yang mudah dicerna jika memiliki nilai bioavailabilitas yang tinggi, yaitu bernilai >20%.
Apabila nilai bioavailabilitasnya berkisar 10-19%, bioavailabilitasnya tergolong sedang. Sedangkan jika kurang dari 10%, dikategorikan sebagai bioavailabilitas rendah.
Berikut ini terdapat daftar makanan yang mengandung kalsium dengan bioavailabilitas yang tinggi (>20%) sehingga kalsiumnya mudah dicerna dan diserap tubuh.
Catatan: urutan penempatan tidak menggambarkan apapun. {alertInfo}
Susu
Susu telah dimanfaatkan manusia selama berabad-abad sebagai sumber kalsium yang berlimpah dan mudah diserap tubuh.
Dalam segelas susu (volume 250 ml), terkandung 300 mg kalsium dengan nilai bioavailabilitas sekitar 22,5-26,9%.
Artinya, dari 300 mg kalsium yang masuk ke tubuh, kita bisa menyerap dan memanfaatkan kalsium sekitar 67,5-80,7 mg.
Perlu dicatat bahwa nilai bioavailabilitas tersebut diuji pada susu sapi yah.
Ternyata ada alasan di balik tingginya nilai bioavailabilitas kalsium pada susu lho!
Misalnya, proses fortifikasi vitamin D2 pada produk susu diketahui mampu meningkatkan bioavailabilitas kalsium.
Selain itu, susu juga mengandung berbagai komponen alami seperti fosfopeptida, kasein, protein whey (alfa laktalbumin dan beta laktoglobulin), laktosa, serta fosfor.
Berbagai komponen susu tersebut ternyata memberikan efek sinergis dalam penyerapan kalsium di dalam tubuh.
Sayangnya, mereka yang mengalami intoleransi laktosa (lactose intolerant) tidak bisa menerima manfaat kalsium dari susu.
Penderita lactose intolerant tidak bisa mencerna laktosa, yaitu jenis karbohidrat dan gula sederhana yang secara alami terkandung pada produk berbasis susu.
Adapun gejala yang ditimbulkan pada penderita intoleransi laktosa bisa berupa perut kembung, mules, dan diare apabila mengonsumsi susu dan produk turunannya.
Oleh karenanya, dibutuhkan sumber alternatif lain yang dapat memberi asupan kalsium bagi mereka yang tidak bisa mengonsumsi susu.
Kale
Kale merupakan sayuran berupa dedaunan hijau yang tergolong dalam keluarga kubis dan brokoli.
Jika diamati secara sekilas, tumbuhan bernama latin Brassica oleracea L. var acephala ini agak mirip dengan selada.
Kale berasal dari daerah Mediterania bagian timur dan Asia kecil (daerah Turki). Menurut catatan sejarah, kale pertama kali dimanfaatkan sumber pangan sejak 2000 tahun SM.
Kadar kalsium dalam kale adalah 0,132%. Artinya, 100 gram daun kale mengandung sekitar 132 mg kalsium.
Daun kale diketahui memiliki bioavailabilitas kalsium sebesar 36,8-41%. Angka tersebut 57% lebih besar dari bioavailabilitas kalsium yang dijumpai pada susu sapi.
Tingginya bioavailabilitas pada kale tidak lepas dari rendahnya kandungan antinutrisi seperti oksalat dan fitat.
Keberadaan antinutrisi tersebut dapat menurunkan bioavailabilitas kalsium, sebab keduanya merupakan ligan yang mampu mengikat ion kalsium.
Seledri
Seledri, atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai celery, biasa dimanfaatkan sebagai komponen sayuran, khususnya penyedap.
Bagi saya, kenikmatan sayur sop tidaklah paripurna tanpa seledri. Rempah ini mampu "menyihir" sayur sop menjadi semakin wangi dan menggugah selera, hehehe.
Seledri mengandung 0,132% kalsium, atau 138 mg kalsium per 100 gramnya. Kadar kalsiumnya sedikit lebih besar dibanding sayuran kale.
Akan tetapi, bioavailabilitas kalsium pada seledri bernilai 32,1-40,3%, sehingga lebih rendah dari kale. Namun, angka tersebut masih lebih baik ketimbang susu.
Sebagai sumber kalsium yang mudah dicerna, seledri tetap memiliki kekurangan.
Umumnya seledri hanya digunakan sebagai komponen pelengkap masakan, sehingga konsumsinya tidak begitu banyak.
Jika demikian, jumlah kalsium yang masuk ke tubuh tentu tidaklah banyak, walaupun bioavailabilitasnya baik.
Adas Sowa
Nama tumbuhan yang satu ini mungkin kurang familiar bagi telinga kebanyakan orang (termasuk saya sendiri).
Dalam bahasa Inggris, adas sowa dikenal dengan sebutan Dill. Dalam bahasa latin, tumbuhan ini bernama Anethum graveolens.
Dari penampakannya, adas sowa terlihat mirip seperti tanaman hias Artemisia scoparia yang kerap dijadikan pagar alami. Namun keduanya berbeda yah!
Adas sowa mengandung kalsium dalam jumlah yang lebih tinggi dari kale maupun seledri, yaitu sebesar 185-227 mg kalsium per 100 gramnya.
Sebanyak 28,2-37,2% dari total kalsium tersebut bisa diserap oleh tubuh kita.
Kelemahan utama adas sowa sebagai sumber kalsium adalah ketidakpopulerannya di masyarakat.
Makanan ini mungkin banyak dijumpai dan dikonsumsi di beberapa negara lain, namun sepertinya tidak begitu populer di Indonesia.
Konon, di Indonesia hanya di daerah Jawa saja yang lumrah mengonsumsi dill sebagai sayuran, tepatnya di daerah Salatiga dan beberapa dataran tinggi bersuhu dingin.
Pakcoy
Kini kita kembali beranjak ke makanan yang lumrah, yaitu pakcoy atau Brassica Rapa chinensis.
Jenis sayuran yang satu ini memiliki beberapa nama lain sekaligus seperti kubis China, sawi sendok, ataupun bok choy.
Sesuai namanya, pakcoy atau sawi sendok sebenarnya satu keluarga dengan berbagai jenis sawi lainnya, seperti sawi hijau, sawi putih, maupun kailan.
Adapun yang menjadi ciri khas dari sawi sendok atau pakcoy ialah bentuk bagian bawahnya yang menyerupai sendok.
Pakcoy mengandung kalsium yang cukup tinggi. Per 100 gram sayuran pakcoy, terkandung kalsium sebanyak 185-227 mg.
Bioavailabilitas kalsiumnya pun tergolong baik yaitu mencapai 28,2-36,9%. Jika dibandingkan dengan susu, nilai tersebut lebih besar sekitar 32%.
Tidak seperti kale, seledri, maupun adas sowa yang cenderung dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit, pakcoy tergolong sayuran yang banyak dikonsumsi dan dibuat menjadi berbagai masakan.
Hal tersebut tentu merupakan keuntungan, sebab kalsium yang masuk ke tubuh cenderung lebih banyak ketimbang kalsium yang diperoleh dari konsumsi kale, seledri, atau adas sowa.
Tempe
Kalau dari tadi semuanya komoditas pangan mentah, sekarang kita masuk ke produk pangan hasil olahan yaitu tempe.
Tidak seperti produk olahan kedelai lainnya yang kebanyakan berasal dari China atau Jepang, tempe merupakan manifestasi murni dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur bangsa ini, tepatnya dari tanah Jawa.
Dahulu, tempe sering diasosiasikan dengan kemiskinan dan berbagai hal inferior lainnya. Kita tentu pernah mendengar istilah "mental tempe", atau "kelas tempe".
Kini, tempe telah bermetamorfosis menjadi makanan bermutu dan bergizi, namun tetap mempertahankan harganya yang terjangkau semua golongan.
Bahkan di luar negeri seperti Eropa dan Amerika, konon tempe adalah sumber protein yang mewah, terutama bagi para penganut gerakan vegan yang mulai menjamur di sana.
Sebenarnya bioavailabilitas kalsium pada kedelai tergolong rendah, hanya setengah dari susu.
Hal tersebut disebabkan karena kedelai mengandung zat antinutrisi bernama fitat yang mampu mengikat kalsium.
Sebaliknya, tempe memiliki bioavailabilitas kalsium yang bagus, dengan nilai yang sedikit lebih besar daripada susu.
Tingginya bioavailabilitas kalsium pada tempe tidak terlepas dari fakta bahwa proses fermentasi kapang mampu mereduksi kandungan fitat.
Selain bioavailabilitasnya yang baik, tempe juga mengandung kalsium dalam jumlah yang lumayan tinggi, yaitu 96-111 mg kalsium per 100 gramnya.
Produk Fermentasi Susu
Produk turunan susu yang dimaksud seperti yoghurt, kefir, Yakult, keju, dan sebagainya.
Karena dibuat dari susu, berbagai produk tersebut memiliki kandungan dan bioavailabilitas kalsium yang tingginya menyerupai susu.
Bahkan produk fermentasi susu dengan rasa asam seperti yoghurt, kefir, Yakult, dan sebagainya, diyakini memiliki bioavailabilitas kalsium yang lebih tinggi.
Produk tersebut memiliki pH yang rendah sehingga mampu membuat kalsium berubah menjadi ion-ion yang lebih mudah larut dan diserap tubuh.
Ikan Kalengan atau Presto dengan Tulang
Tulang adalah sumber kalsium yang tinggi. Ya iyalah, kan fungsi kalsium memang untuk menyusun tulang.
Tapi masalahnya, kebanyakan tulang terlalu keras, bahkan tidak bisa digigit. Kalau dipaksakan, yang ada malah gigi kita yang jadi rusak.
Namun ternyata, ada lho tulang yang empuk untuk digigit. Ya, tulang tersebut ada pada ikan sarden kalengan.
Sebenarnya tulang ikan juga cukup keras untuk dimakan, apalagi kalau ikannya sudah besar.
Pada proses pengalengan ikan, terdapat tahapan sterilisasi yang melibatkan suhu dan tekanan yang sangat tinggi.
Proses sterilisasi tersebut sebenarnya bertujuan untuk mematikan mikroba bernama Clostridium botulinum yang berisiko menghasilkan toksin mematikan bernama botulin.
Melunaknya tulang bukanlah tujuan utama proses sterilisasi, melainkan hanyalah efek sampingnya saja.
Akan tetapi, sterilisasi justru membawa manfaat lainnya yaitu mengempuknya tulang ikan sehingga kita bisa memakannya.
Hal yang serupa juga bisa ditemukan pada produk ikan yang dimasak dengan suhu dan tekanan tinggi, seperti ikan bandeng presto.
Studi menunjukkan bahwa ikan kaleng beserta tulangnya memiliki bioavailabilitas kalsium yang tinggi, yaitu sedikit lebih besar daripada susu.
Penutup
Kalsium merupakan mineral makro yang dibutuhkan dalam jumlah banyak, sehingga kita perlu rutin mengonsumsi makanan yang mengandung kalsium.
Namun selain tinggi kalsium, kita juga perlu memperhatikan bioavailabilitas, agar kalsium tersebut mudah diserap dan digunakan tubuh.
Dengan mengonsumsi berbagai makanan di atas, harapannya kalsium yang masuk ke dalam tubuh bisa memberikan manfaat kesehatan sesuai yang diharapkan.
Referensi {alertSuccess}Ahnan-Winarno A.D. et al, 2021, Tempeh: A semicentennial review on its health benefits, fermentation, safety, processing, sustainability, and affordability, Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 20(2):1717-1767.
Astawan M, 2017, Macro minerals, Materi Kuliah Metabolisme Komponen Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.
BPOM, 2016, Perka BPOM No.9 Tahun 2016.
Dima C. et al, 2016, Bioavailability and bioaccessibility of food bioactive compounds; overview and assessment by in vitro methods, Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 19(6):2862-2884.
Hansen M et al, 1998, Calcium absorption from small soft-boned fish, J. Trace Elements Med. BioI. Vol. 12, pp. 148-154.
Haron, H., Shaari, T., & Keng, C. B, 2016, Effects of different cooking methods on isoflavone content in Malaysian soy-based dishes. Sains Malaysiana, 45(9), 1329–1335.
Kamchan A. et al, 2004, In vitro calcium bioavailability of vegetables, legumes, and seeds, Journal of Food Composition and Analysis, 17(3-4):311-320.
Smith T.M. et al, 1986, Absorption of calcium from milk and yogurt, American Journal of Clinical Nutrition 42(6):1197-200.